Judul : Negeri 5 Menara

Pengarang : A. Fuadi

Penerbit : Gramedia PU

Tahun Terbit : 2013       

Kisah buku ini dimulai dengan Alif, karakter utama, tinggal di tanah Minangkabau. Alif telah bercita-cita untuk menjadi seseorang seperti B.J Habibie sejak kecil. Sayangnya, ibunya tidak setuju dengan cita-citanya dan lebih suka anaknya menjadi seperti Buya Hamka. Hanya ada dua pilihan yang diberikan kepada Alif oleh sang ibu: sekolah keagamaan atau mondok di pesantren. Meskipun pilihan ini membuat Alif marah, dia tidak bisa menentang ibunya. Akhirnya, Alif memutuskan untuk mondok di Pondok Madani, sebuah pesantren di Jawa Timur. Sebenarnya, ibunya merasa berat hati untuk melepas anaknya ke pondok pesantren karena dia sendiri lebih suka anaknya sekolah atau mondok di Minang saja. Alif tidak pernah keluar dari tanah Minang selama hidupnya, yang membuatnya khawatir. Ia dapat menentang ibunya pada awal mondoknya. Alif sedih karena dia sebenarnya ingin kuliah di ITB, tetapi mondok di pesantren hanya akan menghambat tujuannya.Namun, ia teringat kata-kata Kiai Rais, seorang pemimpin pondok, yang mengatakan, “Man Jadda Wa Jadda”, yang berarti siapa pun yang berusaha dengan keras pasti akan berhasil.

Kalimat ini menjadi tonggaknya untuk terus berjuang untuk mencapai cita-citanya. Alif berteman dengan lima santri lainnya di Pondok Madani. Mereka berasal dari lima daerah berbeda: Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Duulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa. Kehidupan di sebuah pondol pesantren jelas tidak semudah yang dibayangkan. Waktu ujian tertulis dan lisan hampir tiba. Untuk mempersiapkan diri, mereka berenam bahkan harus belajar selama 24 jam. Pada akhirnya, Alif dan teman-temannya mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan pondok pesantren, meskipun ada banyak tantangan. Sayangnya, pada tahun berikutnya, Baso memutuskan untuk keluar dari pesantren karena masalah keuangan dan keluarga. Tentu saja, Alif dan temannya sangat sedih karena harus berpisah dengan Baso. Sebaliknya, mereka lebih termotivasi untuk segera lulus dari pondok pesantren dan mewujudkan keinginan mereka untuk menjelajah Eropa dan Amerika karena peristiwa ini.

Kesimpulan:

Kita sebagai manusia jangan pantang menyerah dalam menggapai cita-cita kita, meskipun ada halangan atau masalah yang akan menghadang kita, namun kita harus bisa menghadapinya. Kita tidak boleh lari dari masalah yang akan kita hadapi, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah dan akan menambah permasalahaan yang baru.

Kutipan-kutipan yang indah:

“Jangan berharap dunia yang berubah, tapi diri kita lah yang harus berubah. Ingat anak-anakku, Allah berfirman, Dia tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, sampai kaum itu sendirilah yang melakukan perubahan. Kalau kalian mau sesuatu dan ingin menjadi sesuatu, jangan hanya bermimpi dan berdoa, tapi berbuatlah, berubahlah, lakukan saat ini. Sekarang juga!”

“Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Karena yang kita tuju bukan sekarang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup.”    

“Rugi kalau stress, mending kita bekerja keras. Wali kelasku pernah memberi motivasi yang sangat mengena di hati. Katanya, kalau ingin sukses dan berprestasi dalam bidang apa pun, maka lakukanlah dengan prinsip ‘saajtahidu fauzq mustawa al-akhar’. Bahwa aku akan berjuang dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain.”

bila berminat membaca buku tersebut secara lengkap, dapat mengunjungi perpustakaan Universitas Widya Kartika atau bisa cek melalui katalog di link ini

Leave a Comment